banner 970x250
Budaya  

Revitalisasi Rasa-Rasa Penggusuran? Mantan Ketua HIPMI Solo Harus Tanggung Jawab atas Joglo Tumenggungan yang Tumbang di Tengah Sejarah

revalitasi rasa penggusuran

Solo — Di kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa, sebuah bangunan sakral penuh sejarah justru roboh di tangan mereka yang katanya “mencintai budaya”.

Adalah Guruh Adi, mantan Ketua HIPMI Solo, yang kini jadi sorotan publik karena diduga menjadi dalang di balik revitalisasi berdalih restorasi yang berujung pembongkaran Dalem Tumenggungan Kepatihan Mangkunegaran — termasuk bangunan utama berupa Joglo dan beberapa struktur lain.

Atas dasar kuasa dari pemilik lahan, Guruh Adi dipercaya memimpin proyek revitalisasi kawasan yang disebut-sebut akan “menghidupkan kembali nilai budaya”.

Sayangnya, alih-alih menambah nilai sejarah, yang terjadi justru sebaliknya: bangunan berstatus cagar budaya diratakan tanpa koordinasi memadai dengan instansi pelindung cagar budaya.

“Ini bukan revitalisasi, tapi semacam renovasi dengan cara menyeruduk sejarah,”Kami tidak akan tinggal diam,hati-hati saja pihak yang sudah mengambil keuntungan dari kawasan cagar budaya ini bakal kuwalat sendiri, komentar pedas Joko Samboro Kusdarmaji salah satu pelaku sejarah ndalem Tumenggungan lahir dan besar di kawasan cagar budaya taman Putra ini.

Mantan Ketua HIPMI Solo Harus Tanggung Jawab

Dalem Tumenggungan bukan bangunan sembarangan. Ia saksi bisu lahirnya sistem pemerintahan Mangkunegaran, pusat kegiatan seni Jawa, dan rumah bagi TK Taman Putra selama 71 tahun.

Tapi semua itu kini tinggal cerita. Sebab ketika rencana “mengangkat nilai budaya” dijalankan tanpa melibatkan sejarahwan, arsitek konservasi, dan komunitas budaya, yang tersisa hanyalah kehancuran berjargonkan pembangunan.

Guruh Adi: Antara Restorasi dan Relokasi Nalar

Dalam berbagai keterangan, Guruh menyebut proyek ini sebagai bentuk “pemugaran sesuai bentuk aslinya”, dengan alasan menaikkan elevasi bangunan karena letak bangunan lebih rendah dari jalan. Namun publik bertanya: jika benar untuk pelestarian, mengapa pembongkaran dilakukan dahulu sebelum proses izin restorasi resmi terbit?

“Kami tidak ingin bangunan ini jadi hotel atau mal, tapi menjadi fasilitas publik,” ujarnya di media. Tapi tak sedikit yang menanggapi sinis, mempertanyakan apakah bentuk “fasilitas publik” itu akan benar-benar mencerminkan warisan Mangkunegaran atau justru menjadi ruang komersial berbungkus heritage.

Reaksi Publik: Antara Marah dan Menyesal

Komunitas warga yang tergabung dalam Paguyuban Penghuni Taman Putra Ndalem Tumenggungan, bersama Masyarakat Peduli Heritage Jawa Tengah, menyuarakan kekecewaan mendalam.

Mereka telah menyampaikan aduan langsung kepada Menteri Kebudayaan, Bapak Fadli Zon, yang berjanji akan memfasilitasi dialog dan penyelidikan lebih lanjut atas dugaan pelanggaran perlindungan cagar budaya.

KPP. Ariyo Purbodiningrat, SE, Ketua Umum LSM Pelestari Cagar Budaya Pangeran Sambernyowo Indonesia, mengatakan bahwa yang terjadi di Dalem Tumenggungan adalah “pengabaian terhadap nilai warisan dan bentuk pengingkaran terhadap regulasi cagar budaya.”

Penutup

Solo kembali diuji. Di satu sisi ada geliat pembangunan, di sisi lain ada jeritan warisan yang terlupakan. Kita berharap bahwa para pemegang kuasa—termasuk Guruh Adi dan pihak pemilik—membuka ruang dialog, dan pemerintah segera menertibkan segala bentuk pelanggaran demi menyelamatkan identitas budaya yang kian terancam.

“Jangan biarkan Joglo terakhir sejarah kita runtuh, hanya untuk membangun panggung baru yang tak punya jiwa.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *